Sejarah merupakan kajian yang menarik dimana itu berisi tentang fakta-fakta dan perpolitikan manusia di masa lalu. Begitupun dengan sejarah Islam menjadi salah satu kajian peneliti-peneliti sejarah kontemporer saat ini. Karena di dalam sejarah itu tidak lepas dari faktor perpolitikan yang berada di masanya.
Sejarah Bani Umayyah, misalkan, bisa berkembang dan mundur itu tidak lepas dari faktor politik yang melingkarinya juga faktor aktor politik yang terjadi pada saat itu. Bani Umayyah terpaksa selalu berjuang melawan kelompok Bani Hasyim. Mu'awiyah misalnya, terpaksa berjuang melawan Ali, dan ia berhasil mencapai kemenangan. Yazid, putera Mu'awiyah, berjuang melawan Husein, putera Ali, dan akhirnya Husein tewas di ujung pedang Yazid.
Aktor politik itu sangat menentukan kemajuan dari peradaban dinastinya. Muawiyah seperti kita tahu sangat cerdik dan licin. Umayyah menjadi besar karena ia. Disamping itu Mu'awiyah dikenal sebagai orang yang lapang hati, penyantun, dan suka memberi maaf.
Diantara tokoh-tokoh dari Bani Umayyah yaitu: Mu'awiyah (awalnya ia Gunernur Damaskus) , Yazid Ibn Mu'awiyah, Mu'awiyah ibn Yazid, Marwan ibn al Hakam, Abd al Malik ibn Marwan, al Walid ibn Abd Malik, Sulaiman ibn Abd Malik, Umar ibn Abd Aziz, Yazid ibn Abd Malik, Hisyam ibn Abd Malik, al Walid ibn Yazid, Yazid ibn Walid, dan Marwan ibn Muhammad.
Sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb sebagai khalifah adalah sistem pemerintahan monarki atau kerajaan. Pergantian kepemimpinan dilakukan dengan pewarisan ke putera mahkota (dari ayah ke anak atau saudara) dan dilakukan dengan mekanisme penunjukan, bukan lagiSyuro. Khalifah lebih berfungsi sebagai Raja, berbeda dengan Khalifah di era Khulafaur-Rasyidin. Sistem monarki yang terbangun juga menempatkan Bani Umayyah sebagai kaum bangsawan dan lingkaran kekuasaan.
Hal ini berbeda dengan paradigma kekuasaan pada era sebelumnya yang menempatkan Khalifah sebagai pemegang amanah umat. Sehingga, seorang Khalifah pada saat itu merupakan sebuah konsensus dari umat Islam yang dipilih dengan mekanisme yang syar’i. Seorang Khalifah ketika era Khulafaur Rasyidin menempatkan kesederhanaan dan kezuhudan sebagai bagian tak terpisahkan dari seorang Khalifah. Ketika Muawiyah menjadi khalifah, paradigma ini secara otomatis berubah.
Dalam tulisan ini tidak akan memaparkan panjang lebar tokoh-tokoh tersebut tetapi menitik beratkan pada perkembangan dari Imeperium Umayyah itu sendiri. Untuk selanjutnya marilah kita mulai pembahasan imperium Umayyah yaitu perkembangan peradabannya dan hingga akhir dari kekuasaannya.
Ekspansi ke Asia Tengah dan India
Dengan jumlah pasukan yang cukup besar itu, Qutaybah berhasil melakukan beberapa ekspedisi militer di kawasan seberang sungai, Transoxiana, di Asia Tengah. Wilayah Oxus, yang hingga kini menjadi batas pemisah tradisional, meskipun bukan historis, antara "Iran dan Turan", atau antara masyarakat dan berbahasa Persia dan masyarakat berbahasa Turki, kini berada dalam kekuasaan al Walid, yang kemudian membangun kantong-kantong militer di sana. Dalam serangkaian ekspedisi militer yang brilian, Qutaibah berhasil menguasai Takaristan bagian bawah dan ibu kotanya, Balkh (Yunani, Bakhtra), menaklukan Bukhara di Shaqda serta kawasan sekitarnya, dan menduduki sebagian wilayah Samarkand ke sebelah Barat. Pada 713-715, ia memimpin sebuah ekspedisi militer ke provinsi-provinsi Jaxartes, terutama Farghanah.
Penaklukan itu menandai masuknya kekuatan Islam di daerah yang hingga saat itu masih dikenal sebagai wilayah khanah, Asia Tengah (Cina dan Mongolia).
Panglima lain yang berjasa besar memperluas wilayah Islam hingga kawasan India adalah Muhammad ibn Qasim, anak tiri al Hajjaj. Di bawah komandonya, babak baru peperangan di wilayah Timur untuk sementara waktu bergerak ke selatan. Dengan memimpin satu pasukan besar (710), 6.000 orang, termasuk orang-orang Suriah, ia berhasil mendudukkan Mukran, menerobos hingga ke daerah yang sekarang dikenal dengan Balukistan, dan pada 711-712 berhasil menduduki Sindh, lembah bagian bawah dan delta sungai Indus (Sindhu). Di antara kota yang berhasil dikuasai adalah kota pelabuhan al Daybul, tempat berdirinya patung Buddha. Penaklukkan itu diteruskan ke utara hingga ke Multan di sebelah selatan Punjab, pusat kuil suci Buddha. Di sana, para penyerbu menjumpai kerumunan peziarah yang kemudian dijadikan tawanan.
Serangan itu berhasil menduduki daerah Sindh dan Punjab sebelah selatan, tetapi wilayah India lainnya baru bisa dikuasai pada penghujung abad ke 10 oleh Mahmud dari Ghaznah yang melakukan serbuan baru. Berkat penaklukkan itu, provinsi-provinsi di perbatasan India akhirnya masuk dalam kekuasaan Islam. Pada akhir 1947, di kawasan itu lahir sebuah negara baru bernama Pakistan. Interaksi antara Islam dari rumpun Semit dengan Buddha India akhirnya terjalin, seperti interaksi antara Islam dengan budaya Turki di ujung sebelah utara. Al Hajjaj telah menjanjikan jabatan Gubernur di Cina kepada salah satu jenderalnya, al Tsaqafi atau Qutaybah, siapa yang lebih dulu berhasil menjejakkan kaki di daerah itu. Namun, tidak satupun dari keduanya yang berhasil menembus perbatasan. Daerah Cina, kecuali Turkistan, yang kini 15 juta penduduknya beragama Islam, tidak pernah masuk ke dalam lingkar kekuasaan Islam. Sindh di selatan, seperti Kasygar dan Tashken di utara, merupakan batas paling timur Dinasti Umayyah.
Arabisasi dan Reformasi Administrasi Negara
Arabisasi kerajaan di bawah kepemimpinan Abd al Malik dan al Walid meliputi perubahan bahasa yang digunakan dalam catatan administrasi publik dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab di Damaskus, dan dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab di Irak dan provinsi bagian timur, serta penerbitan uang logam Arab. Perubahan bahasa secara otomatis menyebabkan perubahan struktur kepegawaian. Di suriah, para penakluk terdahulu, yang merupakan keturunan murni padang pasir yang tidak mengenal tata buku dan keuangan, harus bersedia menyerahkan jabatan keuangan kepada pegawai yang mampu menulis bahasa Persia. Namun, kini situasinya berubah. Tidak diragukan lagi pejabat-pejabat non Arab yang telah menguasai bahasa Arab tetap dipertahankan seperti halnya sistem lama. Peralihan itu pasti berjalan cukup lama, dimulai sejak pemerinatahan Abdul Malik dan terus berlanjut selama pemerintahan para penerusnya. Itulah sebabnya mengapa para sebagian penulis otoritatif menyatakan bahwa yang melakukan perubahan pertama kali adalah ayahnya (Abd Malik), dan sebagian yang lain menyebut anaknya (al Walid). Langkah tersebut merupakan bagian dari kebijakan terencana, bukan disebabkan oleh persoalan sepele, sebagaimana dikatakan oleh Baladhuri-akibat air seni seorang pegawai Yunani yang mengotori tinta-. Di Irak dan wilayah satelitnya di sebelah timur, perubahan itu dimulai oleh al Hajjaj.
Pada masa pra Islam, uang Romawi dan Persia digunakan di Hijaz, di samping beberapa uang perak Himyar yang bergambar burung Hantu Attic. 'Umar, Mu'awiyah, dan para khalifah terdahulu lainnya merasa cukup dengan mata uang asing yang sudah beredar, dan mungkin pada beberapa kasus menyertakan kutipan ayat al Qur'an tertentu pada koin-koin itu. Sejumlah uang emas dan perak pernah dicetak sebelumnya pada masa Abd Malik, tapi cetakan itu hanyalah tiruan dari mata uang Bizantium dan Persia. Pada 695, Abd Malik mencetak dinar emas dan dirham perak yang murni hasil karya orang Arab. Wakilnya di Irak, al Hajjaj, mencetak uang perak di Kufah pada tahun berikutnya.
Reformasi budaya dan pertanian lainnya juga dinisbatkan pada kreatifitas dan kecerdasan al Hajjaj. Ia menggali sejumlah kanal dan memperbaiki kanal besar antara Tigris dan Efrat. Ia mengeringkan dan membajak tanah-tanah rawa dan tanah terlantar. Ia memberikan kontribusi bagi pengembangan tanda baca diakritik dalam ortografi Arab untuk membedakan berbagai huruf yang ditulis dengan bentuk yang sama.
Seperti ba' dan ta', tha' da zha' dal dan dzal, serta peminjaman tanda vokal bahasa Suriah, yaitu dhammah (u), fathah (a) dan kasrah (i), yang disisipkan diatas dan di bawah huruf-huruf konsonan. Reformasi ortografi ini dilakukan oleh al Hajjaj untuk menghindari kesalahan membaca kitab suci, yang kemudian ia tindak lanjuti dengan merevisi penulisan al Qur'an. Sejak itu, ia kembali menata kehidupannya sebagai seorang kepala sekolah yang tidak pernah berhenti mendalami ilmu sastra dan retorika. Dukungannya terhadap kemajuan puisi dan ilmu pengetahuan sangat menonjol. Seorang badui penggubah syair-syair satir, yang bernama Jarir, bersama-sama saingannya, al Farazdaq dan al Akhtal, merupakan tiga tokoh penyair masa Umayyah.
Mereka banyak menggubah syair-syair pujian dan menjadi penyair-penyair utama khalifah Umar. Dokter khalifah adalah seorang Kristen bernama Tayadzuq. "budak Tsaqif" ini, demikian ia biasa disebut oleh orang-orang Irak yang menjadi musuhnya, meninggal di Wasith, bulan juni 714, pada usia 53 tahun, dengan meninggalkan nama yang tidak diragukan lagi merupakan salah satu yang terbesar dalam catatan sejarah Islam.
Kehidupan Keluarga IstanaKetika malam tiba, para khalifah menikmati hiburan dan jamuan sosial. Mu'awiyah sangat suka mendengar kisah sejarah, anekdot- terutama dari Arab Selatan- dan pembacaan puisi. Untuk memuaskan kegemarannya, ia mendatangkan seorang ahli cerita dari Yaman, 'Abid ibn Syaryah, yang menghibur khalifah sepanjang malam dengan kisah-kisah kepahlawanan masa lalu. Minuman yang peling disukai adalah sirup buah, yang sering menjadi tema lagu-lagu Arab dan hingga kini masih bisa dinikmati di Damaskus, dan kota-kota Timur lainnya. Minuman itu biasanya sangat diminati oleh kaum wanita.
Perkembangan Pendidikan, Arsitektur, dan Kesenian
Pada periode Dinasti Umayyah belum ada pendidikan formal. Putra-putra khalifah Bani Umayyah biasanya akan "disekolahkan" ke badiyah, gurun Suriah, untuk mempelajari bahasa Arab murni, dan mendalami puisi. Ke sanalah Mu'awiyah mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya, Yazid. Masyarakat luas memandang orang yang dapat membaca dan menulis bahasa aslinya, bisa menggunakan busur dan panah, dan pandai berenang sebagai seorang terpelajar. Orang semacam itu disebut dengan al kamil, yang sempurna. Kemampuan berenang sangat dihargai terutma bagi mereka yang hidup di daerah pantai Mediterania. Nilai-nilai utama yang ditanamkan dalam pendidikan, sebagaimana terungkap dari berbagai literatur tentang pendidikan, adalah keberanian, daya tahan saat tertimpa musibah (shabr), menaati hak dan kewajiban tetangga (jiwar), mejaga harga diri (muru'ah), kedermawanan dan keramahtamahan, penghormatan terhadap perempuan, dan pemenuhan janji. Kebanyakan nilai tersebut sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan orang badui.
Setelah masa Abd al Malik, seorang guru (mu'addib)-biasanya seorang mantan budak dan beragama Kristen-merupakan figur penting istana. Guru para putra khalifah ini menerima perintah dari ayah murid-muridnya agar, "mengajarkan mereka berenang dan membiasakan mereka untuk tidak banyak tidur". Umar II sedemikian keras menghukum anaknya jika melanggar tata bahasa Arab, sehingga diriwayatkan bahwa ia mernerapkan hukuman cambuk padanya.
Masyarakat luas yang hendak memperoleh pendidikan, dalam pengertian mas itu, akan menggunakan masjid untuk mempelajari al Qur'an dan hadits. Karena itu, guru-guru paling pertama dalam Islam adalah para pembaca al Qur'an (qurra'). Pada awal 17 H. khalifah Umar mengirimkan para Qurra' ke berbagai tempat dan menginstruksikan agar masyarakat belajar kepada mereka di masjid setiap hari jum'at.
Sebagai seni paling awal dan permanen, meskipun untuk tujuan keagamaan, arsitektur selalu menjadi representasi utama seni bangunan. Tempat ibadah, yang secara harfiah berarti rumah para dewa, adalah bangunan pertama yang menggerakkan jiwa yang baru tercerahkan untuk menampilkan keindahan seni yang lebih tinggi dari pada yang diterapkan pada rumah-rumah hunian biasa. Sejauh mengenai orang Arab Islam, kesenian menemukan ekspresinya yang tertinggi dalam arsitektur bangunan tempat ibadah. Para arsitek muslim, atau orang yang mereka pekerjakan, telah mengembangkan struktur bangunan, yang sederhana dan anggun, atas dasar pola-pola sebelumya, tapi benar-benar melukiskan jiwa agama baru itu.
Masjid Muhammad yang sederhana di Madinah, bukan masjid Mekah, telah menjadi prototipe umum masjid-masjid besar pada abad pertama Islam. Masjid ini terdiri ats pelataran terbuka yang dikelilingi oleh dinding dari tanah liat yang dijemur. Untuk menghalangi sinar matahari, Nabi kemudian menambahkan atap untuk menutup seluruh ruang yang terbuka. Atap itu terbuat dari batang kurma yang berfungsi sebagai tiang penyangga.
Setelah menduduki Asia Barat da Afrika Utara, bangsa Arab berhasil menguasai bangunan atau puing-puing bangunan yang mewakili perkembangan arsitektur yang tinggi dan, yang lebih penting lagi, menandai penguasaan terhadap pengetahuan dan keterampilan teknis masa itu yang dimiliki oleh bangsa taklukan sejak berabad-abad silam. Ketika diterapkan untuk kepentingan keagamaan masyarakat muslim, seperti yang tampak pada Masjid Madinah da dimodifikasi di berbagai daerah sesuai dengan kondisi masing-masing, teknik-teknik tersebut telah menghasilkan karya seni yang biasa disebut dengan kesenian Saracen, Arab, Islam, atau kesenian pengikut Muhammad.
Sejarah Bani Umayyah, misalkan, bisa berkembang dan mundur itu tidak lepas dari faktor politik yang melingkarinya juga faktor aktor politik yang terjadi pada saat itu. Bani Umayyah terpaksa selalu berjuang melawan kelompok Bani Hasyim. Mu'awiyah misalnya, terpaksa berjuang melawan Ali, dan ia berhasil mencapai kemenangan. Yazid, putera Mu'awiyah, berjuang melawan Husein, putera Ali, dan akhirnya Husein tewas di ujung pedang Yazid.
Aktor politik itu sangat menentukan kemajuan dari peradaban dinastinya. Muawiyah seperti kita tahu sangat cerdik dan licin. Umayyah menjadi besar karena ia. Disamping itu Mu'awiyah dikenal sebagai orang yang lapang hati, penyantun, dan suka memberi maaf.
Diantara tokoh-tokoh dari Bani Umayyah yaitu: Mu'awiyah (awalnya ia Gunernur Damaskus) , Yazid Ibn Mu'awiyah, Mu'awiyah ibn Yazid, Marwan ibn al Hakam, Abd al Malik ibn Marwan, al Walid ibn Abd Malik, Sulaiman ibn Abd Malik, Umar ibn Abd Aziz, Yazid ibn Abd Malik, Hisyam ibn Abd Malik, al Walid ibn Yazid, Yazid ibn Walid, dan Marwan ibn Muhammad.
Sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb sebagai khalifah adalah sistem pemerintahan monarki atau kerajaan. Pergantian kepemimpinan dilakukan dengan pewarisan ke putera mahkota (dari ayah ke anak atau saudara) dan dilakukan dengan mekanisme penunjukan, bukan lagiSyuro. Khalifah lebih berfungsi sebagai Raja, berbeda dengan Khalifah di era Khulafaur-Rasyidin. Sistem monarki yang terbangun juga menempatkan Bani Umayyah sebagai kaum bangsawan dan lingkaran kekuasaan.
Hal ini berbeda dengan paradigma kekuasaan pada era sebelumnya yang menempatkan Khalifah sebagai pemegang amanah umat. Sehingga, seorang Khalifah pada saat itu merupakan sebuah konsensus dari umat Islam yang dipilih dengan mekanisme yang syar’i. Seorang Khalifah ketika era Khulafaur Rasyidin menempatkan kesederhanaan dan kezuhudan sebagai bagian tak terpisahkan dari seorang Khalifah. Ketika Muawiyah menjadi khalifah, paradigma ini secara otomatis berubah.
Dalam tulisan ini tidak akan memaparkan panjang lebar tokoh-tokoh tersebut tetapi menitik beratkan pada perkembangan dari Imeperium Umayyah itu sendiri. Untuk selanjutnya marilah kita mulai pembahasan imperium Umayyah yaitu perkembangan peradabannya dan hingga akhir dari kekuasaannya.
Ekspansi ke Asia Tengah dan India
Dengan jumlah pasukan yang cukup besar itu, Qutaybah berhasil melakukan beberapa ekspedisi militer di kawasan seberang sungai, Transoxiana, di Asia Tengah. Wilayah Oxus, yang hingga kini menjadi batas pemisah tradisional, meskipun bukan historis, antara "Iran dan Turan", atau antara masyarakat dan berbahasa Persia dan masyarakat berbahasa Turki, kini berada dalam kekuasaan al Walid, yang kemudian membangun kantong-kantong militer di sana. Dalam serangkaian ekspedisi militer yang brilian, Qutaibah berhasil menguasai Takaristan bagian bawah dan ibu kotanya, Balkh (Yunani, Bakhtra), menaklukan Bukhara di Shaqda serta kawasan sekitarnya, dan menduduki sebagian wilayah Samarkand ke sebelah Barat. Pada 713-715, ia memimpin sebuah ekspedisi militer ke provinsi-provinsi Jaxartes, terutama Farghanah.
Penaklukan itu menandai masuknya kekuatan Islam di daerah yang hingga saat itu masih dikenal sebagai wilayah khanah, Asia Tengah (Cina dan Mongolia).
Panglima lain yang berjasa besar memperluas wilayah Islam hingga kawasan India adalah Muhammad ibn Qasim, anak tiri al Hajjaj. Di bawah komandonya, babak baru peperangan di wilayah Timur untuk sementara waktu bergerak ke selatan. Dengan memimpin satu pasukan besar (710), 6.000 orang, termasuk orang-orang Suriah, ia berhasil mendudukkan Mukran, menerobos hingga ke daerah yang sekarang dikenal dengan Balukistan, dan pada 711-712 berhasil menduduki Sindh, lembah bagian bawah dan delta sungai Indus (Sindhu). Di antara kota yang berhasil dikuasai adalah kota pelabuhan al Daybul, tempat berdirinya patung Buddha. Penaklukkan itu diteruskan ke utara hingga ke Multan di sebelah selatan Punjab, pusat kuil suci Buddha. Di sana, para penyerbu menjumpai kerumunan peziarah yang kemudian dijadikan tawanan.
Serangan itu berhasil menduduki daerah Sindh dan Punjab sebelah selatan, tetapi wilayah India lainnya baru bisa dikuasai pada penghujung abad ke 10 oleh Mahmud dari Ghaznah yang melakukan serbuan baru. Berkat penaklukkan itu, provinsi-provinsi di perbatasan India akhirnya masuk dalam kekuasaan Islam. Pada akhir 1947, di kawasan itu lahir sebuah negara baru bernama Pakistan. Interaksi antara Islam dari rumpun Semit dengan Buddha India akhirnya terjalin, seperti interaksi antara Islam dengan budaya Turki di ujung sebelah utara. Al Hajjaj telah menjanjikan jabatan Gubernur di Cina kepada salah satu jenderalnya, al Tsaqafi atau Qutaybah, siapa yang lebih dulu berhasil menjejakkan kaki di daerah itu. Namun, tidak satupun dari keduanya yang berhasil menembus perbatasan. Daerah Cina, kecuali Turkistan, yang kini 15 juta penduduknya beragama Islam, tidak pernah masuk ke dalam lingkar kekuasaan Islam. Sindh di selatan, seperti Kasygar dan Tashken di utara, merupakan batas paling timur Dinasti Umayyah.
Imperium Umayyah
Penaklukan-penaklukan di medan pertempuran barat di bawah pimpinan Musa ibn Nusyair dan para komandannya tidak kalah brilian dan gemilang tenimbang yang dilakukan oleh al Hajjaj dan para komandannya di timur. Segera setelah menaklukan Mesir (640-643), ia menyerbu ke sebelah barat, yaitu ke Ifriqiyah tapi upaya penaklukkan ke seluruh wilayah itu baru dilakukan setelah pembangunan al Qayrawan pada 670 oleh Uqbah bin Nafi', seorang Jendral Mu'awiyah, yang menggunakannya sebagai markas untuk melakukan seragan ke suku-suku Berber. Uqbah yang diriwayatkan terus maju hingga gelombang Atlantik menghentikan laju kudanya, meninggal sebagai syahid dekat Biskra (Aljazair sekarang), yang hingga menjadi tempat suci nasional.Arabisasi dan Reformasi Administrasi Negara
Arabisasi kerajaan di bawah kepemimpinan Abd al Malik dan al Walid meliputi perubahan bahasa yang digunakan dalam catatan administrasi publik dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab di Damaskus, dan dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab di Irak dan provinsi bagian timur, serta penerbitan uang logam Arab. Perubahan bahasa secara otomatis menyebabkan perubahan struktur kepegawaian. Di suriah, para penakluk terdahulu, yang merupakan keturunan murni padang pasir yang tidak mengenal tata buku dan keuangan, harus bersedia menyerahkan jabatan keuangan kepada pegawai yang mampu menulis bahasa Persia. Namun, kini situasinya berubah. Tidak diragukan lagi pejabat-pejabat non Arab yang telah menguasai bahasa Arab tetap dipertahankan seperti halnya sistem lama. Peralihan itu pasti berjalan cukup lama, dimulai sejak pemerinatahan Abdul Malik dan terus berlanjut selama pemerintahan para penerusnya. Itulah sebabnya mengapa para sebagian penulis otoritatif menyatakan bahwa yang melakukan perubahan pertama kali adalah ayahnya (Abd Malik), dan sebagian yang lain menyebut anaknya (al Walid). Langkah tersebut merupakan bagian dari kebijakan terencana, bukan disebabkan oleh persoalan sepele, sebagaimana dikatakan oleh Baladhuri-akibat air seni seorang pegawai Yunani yang mengotori tinta-. Di Irak dan wilayah satelitnya di sebelah timur, perubahan itu dimulai oleh al Hajjaj.
Pada masa pra Islam, uang Romawi dan Persia digunakan di Hijaz, di samping beberapa uang perak Himyar yang bergambar burung Hantu Attic. 'Umar, Mu'awiyah, dan para khalifah terdahulu lainnya merasa cukup dengan mata uang asing yang sudah beredar, dan mungkin pada beberapa kasus menyertakan kutipan ayat al Qur'an tertentu pada koin-koin itu. Sejumlah uang emas dan perak pernah dicetak sebelumnya pada masa Abd Malik, tapi cetakan itu hanyalah tiruan dari mata uang Bizantium dan Persia. Pada 695, Abd Malik mencetak dinar emas dan dirham perak yang murni hasil karya orang Arab. Wakilnya di Irak, al Hajjaj, mencetak uang perak di Kufah pada tahun berikutnya.
Imperium Umayyah
Khalifah 'Umar II (717-720) berusaha meredakan ketidakpuasan yang merebak di kalangan muslim baru dengan menata ulang prinsip lama para pendahulunya bahwa seorang muslim, baik Arab atau mawla, tidak perlu membayar pajak apa pun, tapi ia menegaskan bahwa tanah kharaj kepada orang Arab dan orang Islam, maka tanah miliknya harus dikembalikan kepada komunitas kampung, dan ia bisa terus menggunakannya dengan posisi sebagai pemilik tanah.Reformasi budaya dan pertanian lainnya juga dinisbatkan pada kreatifitas dan kecerdasan al Hajjaj. Ia menggali sejumlah kanal dan memperbaiki kanal besar antara Tigris dan Efrat. Ia mengeringkan dan membajak tanah-tanah rawa dan tanah terlantar. Ia memberikan kontribusi bagi pengembangan tanda baca diakritik dalam ortografi Arab untuk membedakan berbagai huruf yang ditulis dengan bentuk yang sama.
Seperti ba' dan ta', tha' da zha' dal dan dzal, serta peminjaman tanda vokal bahasa Suriah, yaitu dhammah (u), fathah (a) dan kasrah (i), yang disisipkan diatas dan di bawah huruf-huruf konsonan. Reformasi ortografi ini dilakukan oleh al Hajjaj untuk menghindari kesalahan membaca kitab suci, yang kemudian ia tindak lanjuti dengan merevisi penulisan al Qur'an. Sejak itu, ia kembali menata kehidupannya sebagai seorang kepala sekolah yang tidak pernah berhenti mendalami ilmu sastra dan retorika. Dukungannya terhadap kemajuan puisi dan ilmu pengetahuan sangat menonjol. Seorang badui penggubah syair-syair satir, yang bernama Jarir, bersama-sama saingannya, al Farazdaq dan al Akhtal, merupakan tiga tokoh penyair masa Umayyah.
Mereka banyak menggubah syair-syair pujian dan menjadi penyair-penyair utama khalifah Umar. Dokter khalifah adalah seorang Kristen bernama Tayadzuq. "budak Tsaqif" ini, demikian ia biasa disebut oleh orang-orang Irak yang menjadi musuhnya, meninggal di Wasith, bulan juni 714, pada usia 53 tahun, dengan meninggalkan nama yang tidak diragukan lagi merupakan salah satu yang terbesar dalam catatan sejarah Islam.
Kehidupan Keluarga IstanaKetika malam tiba, para khalifah menikmati hiburan dan jamuan sosial. Mu'awiyah sangat suka mendengar kisah sejarah, anekdot- terutama dari Arab Selatan- dan pembacaan puisi. Untuk memuaskan kegemarannya, ia mendatangkan seorang ahli cerita dari Yaman, 'Abid ibn Syaryah, yang menghibur khalifah sepanjang malam dengan kisah-kisah kepahlawanan masa lalu. Minuman yang peling disukai adalah sirup buah, yang sering menjadi tema lagu-lagu Arab dan hingga kini masih bisa dinikmati di Damaskus, dan kota-kota Timur lainnya. Minuman itu biasanya sangat diminati oleh kaum wanita.
Imperium Umayyah
Putra Mu'awiyah, Yazid, adalah khalifah pertama yang suka mabuk-mabukan, sehingga dijuluki Yazid al Khumur, Yazid Arak. Salah satu leluconnya adalah melatih monyet piaraannya, Abu Qays, untuk ikut serta dalam jamuan minum. Diriwayatkan bahwa Yazid minum setiap hari, al Walid minum dua hari sekali; Hisyam minum setelah salat Jumat, dan Abd al Malik sekali sebuan, namun kemudian semakin sering sehingga harus minum obat-obatan yang membuatnya muntah. Yazid II sangat terpikat pada dua biduanitanya, Sallamah dan Hababah, sehingga ketika yang terakhir tersedak buah anggur, yang dengan iseng ia lemparkan ke mulutnya, ia menjadi sangat cemas. Namun, gelar peminum terhebat di pegang oleh anaknya, al Walid II (743-744), yang keras kepala dan suka berpoya-poya. Ia diriwayakan terbiasa berendam di kolam anggur, yang biasa ia minum airnya hingga kedalamannya berkurang. Diriwayatkan bahwa suatu hari al Walid pernah membuka al Qur'an, dan ketika matanya tetumbuk pada ayat yang berbunyi, "Dan binasalah orang yang berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala," ia merusak kitab suci itu dengan anak panahnya, sambil mendengungkan dua bait syair gubahannya.Perkembangan Pendidikan, Arsitektur, dan Kesenian
Pada periode Dinasti Umayyah belum ada pendidikan formal. Putra-putra khalifah Bani Umayyah biasanya akan "disekolahkan" ke badiyah, gurun Suriah, untuk mempelajari bahasa Arab murni, dan mendalami puisi. Ke sanalah Mu'awiyah mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya, Yazid. Masyarakat luas memandang orang yang dapat membaca dan menulis bahasa aslinya, bisa menggunakan busur dan panah, dan pandai berenang sebagai seorang terpelajar. Orang semacam itu disebut dengan al kamil, yang sempurna. Kemampuan berenang sangat dihargai terutma bagi mereka yang hidup di daerah pantai Mediterania. Nilai-nilai utama yang ditanamkan dalam pendidikan, sebagaimana terungkap dari berbagai literatur tentang pendidikan, adalah keberanian, daya tahan saat tertimpa musibah (shabr), menaati hak dan kewajiban tetangga (jiwar), mejaga harga diri (muru'ah), kedermawanan dan keramahtamahan, penghormatan terhadap perempuan, dan pemenuhan janji. Kebanyakan nilai tersebut sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan orang badui.
Setelah masa Abd al Malik, seorang guru (mu'addib)-biasanya seorang mantan budak dan beragama Kristen-merupakan figur penting istana. Guru para putra khalifah ini menerima perintah dari ayah murid-muridnya agar, "mengajarkan mereka berenang dan membiasakan mereka untuk tidak banyak tidur". Umar II sedemikian keras menghukum anaknya jika melanggar tata bahasa Arab, sehingga diriwayatkan bahwa ia mernerapkan hukuman cambuk padanya.
Masyarakat luas yang hendak memperoleh pendidikan, dalam pengertian mas itu, akan menggunakan masjid untuk mempelajari al Qur'an dan hadits. Karena itu, guru-guru paling pertama dalam Islam adalah para pembaca al Qur'an (qurra'). Pada awal 17 H. khalifah Umar mengirimkan para Qurra' ke berbagai tempat dan menginstruksikan agar masyarakat belajar kepada mereka di masjid setiap hari jum'at.
Sebagai seni paling awal dan permanen, meskipun untuk tujuan keagamaan, arsitektur selalu menjadi representasi utama seni bangunan. Tempat ibadah, yang secara harfiah berarti rumah para dewa, adalah bangunan pertama yang menggerakkan jiwa yang baru tercerahkan untuk menampilkan keindahan seni yang lebih tinggi dari pada yang diterapkan pada rumah-rumah hunian biasa. Sejauh mengenai orang Arab Islam, kesenian menemukan ekspresinya yang tertinggi dalam arsitektur bangunan tempat ibadah. Para arsitek muslim, atau orang yang mereka pekerjakan, telah mengembangkan struktur bangunan, yang sederhana dan anggun, atas dasar pola-pola sebelumya, tapi benar-benar melukiskan jiwa agama baru itu.
Masjid Muhammad yang sederhana di Madinah, bukan masjid Mekah, telah menjadi prototipe umum masjid-masjid besar pada abad pertama Islam. Masjid ini terdiri ats pelataran terbuka yang dikelilingi oleh dinding dari tanah liat yang dijemur. Untuk menghalangi sinar matahari, Nabi kemudian menambahkan atap untuk menutup seluruh ruang yang terbuka. Atap itu terbuat dari batang kurma yang berfungsi sebagai tiang penyangga.
Setelah menduduki Asia Barat da Afrika Utara, bangsa Arab berhasil menguasai bangunan atau puing-puing bangunan yang mewakili perkembangan arsitektur yang tinggi dan, yang lebih penting lagi, menandai penguasaan terhadap pengetahuan dan keterampilan teknis masa itu yang dimiliki oleh bangsa taklukan sejak berabad-abad silam. Ketika diterapkan untuk kepentingan keagamaan masyarakat muslim, seperti yang tampak pada Masjid Madinah da dimodifikasi di berbagai daerah sesuai dengan kondisi masing-masing, teknik-teknik tersebut telah menghasilkan karya seni yang biasa disebut dengan kesenian Saracen, Arab, Islam, atau kesenian pengikut Muhammad.
0 Response to "Imperium Umayyah "
Post a Comment