Menjelang sekitar abad ke enam tepatnya 571 M ., sang pelopor dan pemangku risalah terakhir sebagai penutup utusan Alla>h dilahirkan. Muh}ammad bin ‘Abd Alla>h yang diangkat oleh Alla>h sebagai pembawa risalah agama Islam, di lingkungan yang tidak beradab (Jahiliyah). Kemunculan Muh}ammad dengan membawa misi kenabian berhasil membuah toretan emas di jazirah tandus, sehingga membuat daerah tersebut menjadi pusat lahirnya agama Islam, yang menyebabkan di kenal di dunia. Kurang lebih sekitar 15 abad Islam menjadi sebuah agama besar yang menandingi agama-agama samawi terdahulu (Kristen dan Yahudi) meskipun ia termasuk paling muda. Dengan umur yang lumayan tua ini Islam mengalami fluktuasi yang sangat signifikan lebih-lebih pada perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal yang sampai saat ini masih dikenal.
Hidup di abad 21 ini adalah hidup di zaman kegelapan Islam. sebab saat ini peradaban tidak lagi dikendalikan dan dipegang oleh orang Islam, namun ia berada di tangan orang-orang Barat. Melacak akar sejarah tentang zaman ke emasan Islam, sehingga menjadi cikal bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan di segala bidang baik berupa ilmu eksak dan sosial, adalah zaman dinasti ‘Abbasi>yyah tepatnya. Dinasti ‘Abbasi>yyah menjadi satu-satunya dinasti yang sangat berperan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Ini tidak mengherankan sebab penguasa yang memegang kendali pemerintahan sangat tinggi apresiasinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan dikalangan internal orang Islam, menurut Philip K Hitti adalah dimulai dari penaklukan orang Islam terhadap daerha Bulan Sabit.
Perkembangan ilmu pengetahuan di masa itu (dinasti Abbasiyah) dengan lonjokan yang sangat signifikan bukanlah lahir begitu saja. Kecintaan para pemegang tampuk kekuasaan dari dinasti tersebut sangat apresiatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Ini dapat dilihat ketika al-Ma’mun menjadi khalifah, kegemaran ia terhadap ilmu pengetahuan ditindak lanjuti dengan reaksi ia mengutus utusan ke Konstantinopel, langsung kepada Raja Leo dari Armenia untuk mencari naskah-naskah Yunani yang dijadikan sumber ilmu pengetahuan. Nestor termasuk orang suriah yang menerjemahkan naskah-naskah tersebut ke dalam bahasa Suriah, sehingga ia menurut para sejarawan yang dikutip K. Hitti ditasbihkan sebagai penerjemah pertama ke dalam bahasa Suriah.
Namun dalam pembahasan yang singkat ini tertuju pada filosof paripatetik Islam, dimana mereka mempunyai pengaruh besar terhadap keberlangsungan ilmu pengetahuan. Pandangan yang disorot dalam pembahasan ini adalah pembahasan mereka tentang jiwa, hal ini dianggap karena kurangnya para pengakaji setelahnya yang memaparkan aspek keilmuwan mereka tentang masalah jiwa.
Filsuf Paripatetik
Donald M. Borchert menyebut Filusuf yang mengikuti alur pikiran Aristoteles (Aristotelian), dengan sebutan kaum Peripatetik. Maka peripatetisme adalah istilah bagi falsafah yang mengikuti jalan Aristoteles yang tentunya tidak hanya ada dalam Islam tetapi pas setelah wafatnya Aristoteles sudah ada yang menjadi pengikut Aristoteles. Para filsuf Peripatetik dalam Islam antara lain adalah Al-Kindi> dan lalu setelah mengalami kemunduran, falsafah Peripatetik kembali bangkit di Andalusia lewat Ibn Bajjah, Ibn Thufail, dan Ibn Rusyd.
Al-Kindi
Menurut al-Kindi> roh tidak tersusun, sederhana tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Subtansinya berasal dari subtansi tuhan. Hubunganya dengan tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri argumen yang dikemukakan Al-Kindi> tentang kelainan roh dan badan ialah keadaan badan mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah. Roh menentang keinginan hawa nafsu. Sudah jelas hawa yang melarang tidak sama, tetapi berlainan dari yang dilarang.
Dengan perantara rohlah manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Ada dua macam pengetahuan; pengetahuan pancaindera dan pengetahuan akal. Pengetahuan panca indera hanya mengenai yang lahir saja. Dalam hal ini manusia dan binatang sama. Pengetahuan akal merupakan hakikat-hakikat dan hanya dapat diperoleh oleh manusia tetapi dengan syarat ia harus melepaskan diri dari sifat ini ialah dengan meninggalkan dunia dan berfikir serta berkontemplasi tentang wujud. Dengan kata lain seseorang harus bersifat zahid. Kalau roh telah dapat meninggalkan keinginan-keinginan badan, bersifat dari segala noda kebendaan, dan senantiasa berfikir tentang hakikat-hakikat wujud, dia akan menjadi suci dan di ketika itu akan dapat menangkap gambaran segala hakikat, tak ubahnya sebagai cermin yang dapat menangkap gambaran dari benda-benda yang ada di depanya.
Pengetahuan dalam paham ini merupakan emanasi karena roh adalah cahaya dari tuhan, roh dapat menangkap ilmu-ilmu yang ada pada tuhan. Tetapi kalau roh kotor, maka sebagai mana halnya dengan cermin kotor, roh tak dapat menerima pengetahuan-pengetahuan yang dipancarkan oleh cahaya berasal dari tuhan.
Dalam pandangan Al-Kindi> jiwa mempunyai tiga daya:
1) Daya bernafsu (apperatitive)
2) Daya pemarah (irascible)
3) Daya berfikir (cognitive faculty)
Al-Kindi> lebih lanjut membagi akal menjadi tiga macam, yaitu: akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedau dari aktualitas. Untuk itu ia menganalisa bahwa aksi hakiki adalah perbuatan yang merupakan buah dari niat dan kehendak, dan bahwa kehendak manusia merupakan potensi psikologis yang digerakkan oleh getaran-getaran. Akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakanya dari luar. Dan oleh karena itu bagi Al-Kindi> ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud diluar roh manusia, dan bernama akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal bersifat potensial dalam roh manusia menjadi actual.
Al-FarabiAl-Farabi> termasuk seorang yang mempunyai intlektualitas yang tinggi, tak heran jika ia banyak mengusai disiplin keilmuwan, seperti ilmu bahasa, ilmu matematika, ilmu logika, ilmu ketuhanan ilmu musik, ilmu astronomi, ilmu perkotaan, ilmu fiqh, ilmu fisika, ilmu mekanika, ilmu tata negara, dan ilmu kalam. Namun dalam pembahasan kali ini lebih terfokus pada displin ilmu kejiwaan yang dikembangkan oleh Al-Farabi> hal ini dianggap jarang di kutip dan dibahas oleh para pengkaji Al-Farabi>. Dalam masalah jiwa Al-Farabi> berkonsentrasi untuk menjelaskan amal iradi (aksi volisional). Untuk itu, ia membedakan iradah dari ikhtiar. Ia berpendapat bahwa iradah dilahirkan oleh rasa rindu dan keinginan yang dibangkitkan oleh rasa dan imajinasi. Sedangkan ikhtiar semata-mata dilahirkan oleh pemikiran dan analisa.
Seolah-olah ia menurunkan pengertian kehendak ke dalam standar kecendrungan, karenanya dimungkinkan jatuh ke alam hewani. Akan tetapi di tempat lain ia berusaha untuk menganalisa tingkat-tingkat amal-amal iradi. Jelas bahwa niat mendahului, tidak bersamaan dengan aksi dan juga disebut azam yakni, persoalan yang disimpan oleh hati bahwa anda akan melakukan hal itu. Sedangkan al-Qasd (unsur kesengajaan) menurut Al-Farabi> terjadi bersamaan dengan aksi. Baik niat, azam maupun qasad merupakan fenomena psikologis yang berlandaskan pada prinsip pemikiran dan analisa.
Nilai kehendak terletak pada kebebasanya. Al-Farabi> telah menjelaskan bahwa manusia bisa berbuat baik jika kehendak, karena ia bebas untuk mewujudkan apa yang ia kehendaki dan perbuat. Akan tetapi kebebasan ini tunduk kepada hukum-hukum alam, masing-masing diberi fasilitas sesuai kejadianya, perhatian Alla>h mencakup segala hal dan berhubungan dengan setiap orang, dan setiap yang ada ini terjadi atas qada dan qadar-Nya.
Mungkin faktor inilah yang mendorong De Boer untuk mengatakan bahwa Al-Farabi> termasuk kelompok jabariah. Kami khawatir jiak hal ini keterusan dalam menafsirkan perhatian tuhan menurut filosof kita ini, karena menurutnya perhatian tuhan adalah pengaturan kokoh dan universal yang tidak mengandung kontradiksi. Sebab, manusia mempunyai bidang sedangkan alam mempunyai sistem, di mana bidang manusia tidak akan terwujud kecuali jika memenuhi persyaratan kehendak. Betapa hal ini mirip sekali dengan harmonia pra estabilita yang dikemukakan oleh Leibniz kira-kira tujuh abad setelah Al-Farabi>.
Jiwa dalam pandangan Al-Farabi> mempunyai daya-daya, ini seirama pendapat yang dikemukakan oleh Aristoteles yaitu:
1. Gerak (motion):
a) Makan (nutrition)
b) Memelihara (preservation)
c) Berkembang (reproduction)
2. Mengetahui (cognition):
a) Merasa (sensation)
b) Imajinasi (imagination)
3. Berpikir (intellection)
a) Akal praktis (practical intellect),
b) Akal teoritis (theoretical intellect).
Selanjutnya Al-Farabi> membagi daya berfikir menjadi tiga tingkatan; Pertama, akal potensial (material intellect), baru melepaskan arti-arti berpikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya. Kedua, akal aktual (actual intellect) telah dapat mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensi, tetapi dalam bentuk actual. Ketiga, akal mustafad (acquired intellect), telah dapat menangkap bentuk semata-mata (pure forms), kalau akal actual hanya dapat menangkap arti-arti terlepas dari materi, akal mustafad sanggup menangkap bentuk semata-mata. Bentuk-bentuk ini berlainan dengan abstracted intelligibes, tidak pernah berada dalam materi untuk dapat dilepaskan dari materi. Bentuk semata-mata berada tanpa materi seperti akal yang kesepuluh dan tuhan.
Hidup di abad 21 ini adalah hidup di zaman kegelapan Islam. sebab saat ini peradaban tidak lagi dikendalikan dan dipegang oleh orang Islam, namun ia berada di tangan orang-orang Barat. Melacak akar sejarah tentang zaman ke emasan Islam, sehingga menjadi cikal bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan di segala bidang baik berupa ilmu eksak dan sosial, adalah zaman dinasti ‘Abbasi>yyah tepatnya. Dinasti ‘Abbasi>yyah menjadi satu-satunya dinasti yang sangat berperan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Ini tidak mengherankan sebab penguasa yang memegang kendali pemerintahan sangat tinggi apresiasinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan dikalangan internal orang Islam, menurut Philip K Hitti adalah dimulai dari penaklukan orang Islam terhadap daerha Bulan Sabit.
Filsuf Paripatetik Islam
(Telaah Pemikiran Al-Kindi dan Al-Farabi)
Penaklukan daerah ini yang mengantarkan orang Islam bersentuhan dengan budaya Yunani yang dikemudian hari kelak menjadi satu sebab determinan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam.Perkembangan ilmu pengetahuan di masa itu (dinasti Abbasiyah) dengan lonjokan yang sangat signifikan bukanlah lahir begitu saja. Kecintaan para pemegang tampuk kekuasaan dari dinasti tersebut sangat apresiatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Ini dapat dilihat ketika al-Ma’mun menjadi khalifah, kegemaran ia terhadap ilmu pengetahuan ditindak lanjuti dengan reaksi ia mengutus utusan ke Konstantinopel, langsung kepada Raja Leo dari Armenia untuk mencari naskah-naskah Yunani yang dijadikan sumber ilmu pengetahuan. Nestor termasuk orang suriah yang menerjemahkan naskah-naskah tersebut ke dalam bahasa Suriah, sehingga ia menurut para sejarawan yang dikutip K. Hitti ditasbihkan sebagai penerjemah pertama ke dalam bahasa Suriah.
Namun dalam pembahasan yang singkat ini tertuju pada filosof paripatetik Islam, dimana mereka mempunyai pengaruh besar terhadap keberlangsungan ilmu pengetahuan. Pandangan yang disorot dalam pembahasan ini adalah pembahasan mereka tentang jiwa, hal ini dianggap karena kurangnya para pengakaji setelahnya yang memaparkan aspek keilmuwan mereka tentang masalah jiwa.
Filsuf Paripatetik
Donald M. Borchert menyebut Filusuf yang mengikuti alur pikiran Aristoteles (Aristotelian), dengan sebutan kaum Peripatetik. Maka peripatetisme adalah istilah bagi falsafah yang mengikuti jalan Aristoteles yang tentunya tidak hanya ada dalam Islam tetapi pas setelah wafatnya Aristoteles sudah ada yang menjadi pengikut Aristoteles. Para filsuf Peripatetik dalam Islam antara lain adalah Al-Kindi> dan lalu setelah mengalami kemunduran, falsafah Peripatetik kembali bangkit di Andalusia lewat Ibn Bajjah, Ibn Thufail, dan Ibn Rusyd.
Al-Kindi
Menurut al-Kindi> roh tidak tersusun, sederhana tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Subtansinya berasal dari subtansi tuhan. Hubunganya dengan tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri argumen yang dikemukakan Al-Kindi> tentang kelainan roh dan badan ialah keadaan badan mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah. Roh menentang keinginan hawa nafsu. Sudah jelas hawa yang melarang tidak sama, tetapi berlainan dari yang dilarang.
Dengan perantara rohlah manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Ada dua macam pengetahuan; pengetahuan pancaindera dan pengetahuan akal. Pengetahuan panca indera hanya mengenai yang lahir saja. Dalam hal ini manusia dan binatang sama. Pengetahuan akal merupakan hakikat-hakikat dan hanya dapat diperoleh oleh manusia tetapi dengan syarat ia harus melepaskan diri dari sifat ini ialah dengan meninggalkan dunia dan berfikir serta berkontemplasi tentang wujud. Dengan kata lain seseorang harus bersifat zahid. Kalau roh telah dapat meninggalkan keinginan-keinginan badan, bersifat dari segala noda kebendaan, dan senantiasa berfikir tentang hakikat-hakikat wujud, dia akan menjadi suci dan di ketika itu akan dapat menangkap gambaran segala hakikat, tak ubahnya sebagai cermin yang dapat menangkap gambaran dari benda-benda yang ada di depanya.
Pengetahuan dalam paham ini merupakan emanasi karena roh adalah cahaya dari tuhan, roh dapat menangkap ilmu-ilmu yang ada pada tuhan. Tetapi kalau roh kotor, maka sebagai mana halnya dengan cermin kotor, roh tak dapat menerima pengetahuan-pengetahuan yang dipancarkan oleh cahaya berasal dari tuhan.
Dalam pandangan Al-Kindi> jiwa mempunyai tiga daya:
1) Daya bernafsu (apperatitive)
2) Daya pemarah (irascible)
3) Daya berfikir (cognitive faculty)
Al-Kindi> lebih lanjut membagi akal menjadi tiga macam, yaitu: akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedau dari aktualitas. Untuk itu ia menganalisa bahwa aksi hakiki adalah perbuatan yang merupakan buah dari niat dan kehendak, dan bahwa kehendak manusia merupakan potensi psikologis yang digerakkan oleh getaran-getaran. Akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakanya dari luar. Dan oleh karena itu bagi Al-Kindi> ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud diluar roh manusia, dan bernama akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal bersifat potensial dalam roh manusia menjadi actual.
Filsuf Paripatetik Islam
(Telaah Pemikiran Al-Kindi dan Al-Farabi)
Al-FarabiAl-Farabi> termasuk seorang yang mempunyai intlektualitas yang tinggi, tak heran jika ia banyak mengusai disiplin keilmuwan, seperti ilmu bahasa, ilmu matematika, ilmu logika, ilmu ketuhanan ilmu musik, ilmu astronomi, ilmu perkotaan, ilmu fiqh, ilmu fisika, ilmu mekanika, ilmu tata negara, dan ilmu kalam. Namun dalam pembahasan kali ini lebih terfokus pada displin ilmu kejiwaan yang dikembangkan oleh Al-Farabi> hal ini dianggap jarang di kutip dan dibahas oleh para pengkaji Al-Farabi>. Dalam masalah jiwa Al-Farabi> berkonsentrasi untuk menjelaskan amal iradi (aksi volisional). Untuk itu, ia membedakan iradah dari ikhtiar. Ia berpendapat bahwa iradah dilahirkan oleh rasa rindu dan keinginan yang dibangkitkan oleh rasa dan imajinasi. Sedangkan ikhtiar semata-mata dilahirkan oleh pemikiran dan analisa.
Seolah-olah ia menurunkan pengertian kehendak ke dalam standar kecendrungan, karenanya dimungkinkan jatuh ke alam hewani. Akan tetapi di tempat lain ia berusaha untuk menganalisa tingkat-tingkat amal-amal iradi. Jelas bahwa niat mendahului, tidak bersamaan dengan aksi dan juga disebut azam yakni, persoalan yang disimpan oleh hati bahwa anda akan melakukan hal itu. Sedangkan al-Qasd (unsur kesengajaan) menurut Al-Farabi> terjadi bersamaan dengan aksi. Baik niat, azam maupun qasad merupakan fenomena psikologis yang berlandaskan pada prinsip pemikiran dan analisa.
Nilai kehendak terletak pada kebebasanya. Al-Farabi> telah menjelaskan bahwa manusia bisa berbuat baik jika kehendak, karena ia bebas untuk mewujudkan apa yang ia kehendaki dan perbuat. Akan tetapi kebebasan ini tunduk kepada hukum-hukum alam, masing-masing diberi fasilitas sesuai kejadianya, perhatian Alla>h mencakup segala hal dan berhubungan dengan setiap orang, dan setiap yang ada ini terjadi atas qada dan qadar-Nya.
Mungkin faktor inilah yang mendorong De Boer untuk mengatakan bahwa Al-Farabi> termasuk kelompok jabariah. Kami khawatir jiak hal ini keterusan dalam menafsirkan perhatian tuhan menurut filosof kita ini, karena menurutnya perhatian tuhan adalah pengaturan kokoh dan universal yang tidak mengandung kontradiksi. Sebab, manusia mempunyai bidang sedangkan alam mempunyai sistem, di mana bidang manusia tidak akan terwujud kecuali jika memenuhi persyaratan kehendak. Betapa hal ini mirip sekali dengan harmonia pra estabilita yang dikemukakan oleh Leibniz kira-kira tujuh abad setelah Al-Farabi>.
Jiwa dalam pandangan Al-Farabi> mempunyai daya-daya, ini seirama pendapat yang dikemukakan oleh Aristoteles yaitu:
1. Gerak (motion):
a) Makan (nutrition)
b) Memelihara (preservation)
c) Berkembang (reproduction)
2. Mengetahui (cognition):
a) Merasa (sensation)
b) Imajinasi (imagination)
3. Berpikir (intellection)
a) Akal praktis (practical intellect),
b) Akal teoritis (theoretical intellect).
Selanjutnya Al-Farabi> membagi daya berfikir menjadi tiga tingkatan; Pertama, akal potensial (material intellect), baru melepaskan arti-arti berpikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya. Kedua, akal aktual (actual intellect) telah dapat mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensi, tetapi dalam bentuk actual. Ketiga, akal mustafad (acquired intellect), telah dapat menangkap bentuk semata-mata (pure forms), kalau akal actual hanya dapat menangkap arti-arti terlepas dari materi, akal mustafad sanggup menangkap bentuk semata-mata. Bentuk-bentuk ini berlainan dengan abstracted intelligibes, tidak pernah berada dalam materi untuk dapat dilepaskan dari materi. Bentuk semata-mata berada tanpa materi seperti akal yang kesepuluh dan tuhan.
0 Response to "Filsuf Paripatetik Islam (Telaah Pemikiran Al-Kindi dan Al-Farabi)"
Post a Comment